Selasa, 03 Desember 2019

PERAN FAKTOR INTELEKTUAL DAN NON-INTELEKTUAL DALAM BELAJAR







MAKALAH
Mata Kuliah Psikologi Pendidikan Lanjut
Dosen Pengampu  :    Prof. Dr. Drs. Ekawarna, M.Psi
Prof. Dr. Dra. Emosda, M.Pd, Kons








OLEH

MUHAMMAD NUZLI
NIM. P3A116005








UNIVERSITAS JAMBI
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI DOKTOR KEPENDIDIKAN
2016

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peran Faktor Intelektual dan Non-Intelektual dalam Belajar”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam membantu dan memberikan pemahaman tentang topik pembahasan ini, terutama kepada yang terhormat, Bapak Prof. Dr. Drs. Ekawarna, M.Psi dan Ibu Prof. Dr. Dra. Emosda, M.Pd, Kons pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan Lanjut, serta teman-teman/rekan-rekan mahasiswa Program Doktor Kependidikan Universitas Jambi.
Atas segala bantuan yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalasnya dengan yang setimpal, amin yaa rabbal ‘alamin.. Akhirnya penulis berharap kepada kita semua untuk memberikan masukan yang konstruktif ke arah yang lebih baik, sehingga dapat memberikan pemahaman dengan baik tentang pembahasan ini.
                                                                       Jambi, 05 November 2016
                                                                                            Penulis,




                                                                                  Muhammad Nuzli
                                                                                    NIM: P3A116005



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pencapai hasil belajar yang maksimal dalam proses pembelajaran menjadi idaman bagi pendidik, peserta didik, maupun orang tua. Permasalahan dalam belajar dan pembelajaran terasa sekian kompleks, berbagai tantangan yang harus dihadapi dan dilakukan menuju belajar dan mengajar yang berhasil. Banyak upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik, mulai dari merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran hingga mengevaluasi pembelajaran, namun itu semua banyak hal yang mempengaruhinya, hingga disadari bahwa permasalahan dalam proses pembelajaran itu kompleks.
Pada hakikatnya belajar itu merupakan proses psikologis, karena semua keadaan yang mempengaruhi peserta didik baik faktor dari dalam diri peserta didik maupun faktor dari luar peserta didik yang akan membuat dan menciptakan intensitas belajar peserta didik, semakin peserta didik belajar dengan intensitas yang tinggi diharapkan kompetensinya akan tercapai.
Proses pembelajaran yang berlangsung dapat dipengaruhi berbagai faktor, di antara faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran itu ada faktor yang bersifat mendukung untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien ada pula faktor yang sebaliknya yang akan menghambat peserta didik untuk mencapai kompetensinya. Yang mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik ada faktor internal peserta didik dan ada pula pengaruh dari faktor eksternal peserta didik. Pengaruh faktor internal peserta didik terdapat faktor intelektual dan non-intelektual peserta didik.
Kita yakini bahwa “tidak ada anak yang bodoh, yang ada anak yang berkemampuan rendah”.[1] Dan juga kita yakini bahwa “ada otak di kepala pasti cerdas. Jika tidak ada otak di kepala pasti bodoh”.[2] Hal ini merupakan sebagian dari beberapa faktor intelektual yang akan mempengaruhi proses pembelajaran dan pencapaian kompetensi peserta didik.
Faktor utama yang mempengaruhi proses pembelajaran itu adalah intelektual peserta didik, intelektual peserta didik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kerja otak yang biasa disebut dengan berpikir. Dengan proses akhir berpikir yang dilakukan tersebut dikenal dengan istilah inteligensi (kecerdasan) dan tingkat hasil inteligensi atau intelektual.
Dalam proses pembelajaran seorang pendidik sering mengemukakan bahwa si dia lebih pintar atau lebih cerdas dari pada yang lainnya, tentu ungkapan tersebut memiliki suatu alasan untuk mengungkapkan apa itu pintar yang dapat disebut ke arah cerdas atau inteligensi maupun ke arah istilah intelektual. Dan pernyataan pintar tersebut tentu memiliki asumsi kepada terdapatnya hal-hal lebih pada hal tersebut. Asumsi-asumsi untuk menyatakan anak didik itu pintar atau sebaliknya, tentu merupakan pengaruh dari proses pembelajaran yang telah dilakukannya, sehingga hasil belajarnya dinyatakan lebih baik.
Dalam proses dan hasil belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor intelektual secara internal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non-intelektual. Diyakini juga bahwa setiap perilaku yang ditampakkan oleh peserta didik dalam belajar merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dengan otak. Dan pengaruh internal non-intelektual dalam proses dan hasil belajar peserta didik tentu dapat berupa motivasi belajar, motivasi belajar yang tinggi diharapkan dapat pencapai tujuan belajar peserta didik yang lebih baik. Begitu juga yang terkait dengan hal lain faktor non-intelektual secara internal peserta didik seperti kondisi fisik yang mendukung, perasaan yang baik, sikap yang baik dan lain sebagainya.
Untuk memahami bagaimana peran faktor intelektual maupun faktor non-intelektual dalam belajar, maka perlu adanya pembahasan lebih lanjut dengan topik “Peran Faktor Intelektual dan Non-Intelektual dalam Belajar”.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1.2.1    Bagaimanakah peran faktor intelektual dalam belajar?
1.2.2    Bagaimanakah peran faktor non-intelektual dalam belajar?
1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.3.1    Untuk mengetahui peran faktor intelektual dalam belajar,
1.3.2    Untuk mengetahui peran faktor non-intelektual dalam belajar.

BAB II
PERAN FAKTOR INTELEKTUAL
DAN NON-INTELEKTUAL DALAM BELAJAR
2.1  Peran Faktor Intelektual dalam Belajar
Sebelum memahami peran faktor intelektual dalam belajar, adanya baiknya terlebih dahulu untuk memahami apakah yang dimaksud dengan intelektual. Kata intelektual berasal dari bahasa Inggris yakni intellectual yang merupakan kata benda yang dapat dihitung yang diartikan sebagai kaum cerdik pandai, cendikiawan.[3] Hal yang sama juga terdapat dalam Bahasa Dictionary bahwa intellectual diartikan sebagai cendikiawan, intelektual, cerdik pandai.[4] Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (offline) kata intelektual diartikan sebagai “1 a cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; 2 n (yg) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; 3 n totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman”.[5]
Beberapa pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa intelektual dalam tulisan ini dapat diartikan seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa intelektual adalah peserta didik yang cerdas berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan, atau peserta didik yang secara totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman peserta didik dalam belajar.
Untuk dipahami juga, selain kata intelektual kita juga sering mengenal kata inteligensi. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia kata inteligensi diartikan “Psi daya reaksi atau penyesuaian yg cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, thd pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yg telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pd fakta atau kondisi baru; kecerdasan”.[6] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata intelektual diartikan dengan “kecerdasan”.[7] Beberapa pendapat tentang pengertian inteligensi, menurut William Stern mengemukakan bahwa inteligensi adalah “kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya”.[8] Menurut Karl Buhler mengemukakan bahwa inteligensi adalah perbuatan disertai dengan pemahaman atau pengertian”. [9]
Beberapa pendapat di atas memberikan pemahaman bahwa inteligensi itu sama dengan kecerdasan, dan inteligensi merupakan kecerdasan dalam menyesuaikan sesuatu yang baru dengan apa yang telah dipikirkan sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut dapat pula dapat dipahami antara kata inteligensi dengan intelektual terdapat kesamaan. Namun kecerdasan intelektual sering disebut dengan IQ (Intelligent Quotient).
Setelah kita memahami tentang pengertian intelektual dan perbedaan dengan inteligensi, tentu kita perlu memahami perkembangan intelektual. Perkembangan intelektual ini tidak dapat kita pisahkan dengan perkembangan kognitif menurut Jeans Piaget sebagaimana yang telah dikemukakan pada materi perkuliahan sebelumnya, yang dirasa cukup disampaikan dalam materi terdahulu.
Ada beberapa macam kecerdasan menurut Howard Gardner, seorang psikolog terkemuka dari Harvard University, mengatakan ada delapan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, seperti:
2.1.1      Kecerdasan linguistik
Orang yang memiliki kecerdasan ini adalah seseorang yang tahu bagaimana untuk memproses kata-kata ketika berbicara atau menulis. Kecerdasan ini kegiatan belajarnya menekankan pada keterampilan menggunakan bahasa alam bentuk kata atau kalimat dengan pola yang terstruktur. Menurut Campbell dan Dickinson bahwa mengajar dengan pendekatan linguistik merupakan sebuah sebuah keterampilan menggabungkan berbagai komponen bahasa, menulis, menyimak dan berbicara untuk mengingat, berkomunikasi, menjelaskan, mempengaruhi, menyusun makna, dan menggambarkan bahasa itu sendiri.
2.1.2      Kecerdasan matematik atau logika
Kecerdasan ini adalah tipe orang yang memiliki kecerdasan dalam hal angka dan logika. Mereka mudah untuk membuat klasifikasi dan kategorisasi, berpikir dalam pola sebab dan akibat, membuat hipotesis, dan pandangan rasional terhadap kehidupan. Kecerdasan ini tidak hanya terbatas pada pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam saja, akan tetapi juga memungkinkan untuk pelajaran lain. Kecerdasan ini menekankan pada kegiatan berpikir yang bersifat terukur, kuantitatif dan analisis.
2.1.3      Kecerdasan spasial
Mereka yang jatuh ke dalam jenis ini memiliki sensitivitas yang tajam untuk visual, keseimbangan, warna, garis, bentuk, dan ruang. Selain itu, mereka juga pandai membuat sketsa ide dengan jelas. Menurut Campbell dan Dickson bahwa pembelajaran kecerdasan ini seharusnya menggunakan potensi peserta didik baik intelektual maupun fisik/keterampilan, yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif dalam proses pembelajaran dari pada sekedar mengirimkan informasi, dan aktivitas belajar yang lebih didominasi  oleh visual.
2.1.4      Kecerdasan kinetik dan jasmani
Tipe orang ini mampu untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Mereka menyukai olahraga dan aktivitas fisik mengandalkan melalui tindakan-tindakan dan praktik langsung.
2.1.5      Kecerdasan musikal
Mereka yang jatuh ke dalam jenis ini dapat mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati musik dan bentuk suara. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan musikal seperti bersiul, mudah menghafal lagu-lagu baru untuk didengar, menguasai salah satu instrumen tertentu, sensitif terhadap suara sumbang, dan suka bekerja sambil bernyanyi.
2.1.6      Kecerdasan interpersonal
Jenis orang biasanya memahami dan peka terhadap perasaan, niat, motivasi, karakter, dan temperamen orang lain. Selain itu, mereka juga mampu membangun kontak mata dengan baik, menghadapi orang lain dengan penuh perhatian, dan mendorong orang lain untuk menyampaikan cerita. Kecerdasan intrapersonal
Tipe orang ini memiliki kecerdasan pengetahuan diri dan mampu bertindak adaptif berdasarkan pengenalan diri. Karakteristik yang suka bekerja sendiri, cenderung mengabaikan, sering merenungkan diri sendiri, dan memahami kekuatan dan kelemahan.
2.1.7      Kecerdasan naturalis
Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu memahami dan menikmati alam dan menggunakannya secara produktif dan mengembangkan pengetahuan tentang alam. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan ini yang mencintai lingkungan, mampu mengenali sifat dan perilaku hewan, dan bahagia kegiatan di luar ruangan atau alami.[10]
Ada beberapa faktor intelektual dalam belajar menurut Ngalim Purwanto faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang itu yaitu pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, dan kebebasan.[11]
2.1.1    Pembawaan, pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. “Batas kesanggupan kita” yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar dan ada yang tidak pintar, meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada. Banyak teori dan hasil penelitian menyatakan bahwa kapasitas intelegensi dipengaruhi oleh gen orang tua. Namun, yang cenderung mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan anak tergantung faktor gen mana (ayah atau ibu) yang dominan mempengaruhinya pada saat terjadinya “konsepsi” individu. Teori konvergensi mengemukakan bahwa anak yang lahir telah mempunyai potensi bawaan, tetapi potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan baik tanpa mendapat pendidikan dan latihan atau sentuhan dari lingkungan;
2.1.2    Kematangan, tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, kematangan intelektual seseorang dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Sehubungan dengan hal tersebut, kematangan intelektual menurut Piaget (seorang psikolog dari Swiss) membuat empat tahapan kematangan dalam perkembangan intelektual, yaitu: periode sensori motorik (0-2 tahun), Periode pra operasional (2-7 tahun), periode operasional konkrit (7-11 tahun), dan periode operasional formal (11-16 tahun). Hal tersebut membuktikan bahwa semakin bertambah usia seseorang, intelektualnya makin berfungsi dengan sempurna. Ini berarti faktor kematangan mempengaruhi struktur intelektual, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan kualitatif dari fungsi intelektual. Yaitu kemampuan menganalisis (memecahkan suatu permasalahan yang rumit) dengan baik;
2.1.3    Pembentukan, pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelektual. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja  (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar). Pendidikan dan latihan yang bersifat kognitif dapat memberikan sumbangan terhadap fungsi intelektual seseorang. Misalnya, orang tua yang menyediakan fasilitas sarana seperti bahan bacaan majalah anak-anak dan sarana bermain yang memadai, semua ini dapat membentuk anak menjadi meningkatkan fungsi dan kualitas pikirannya, pada gilirannya situasi ini akan meningkatkan perkembangan intelektual anak dibanding anak seusianya;
2.1.4    Minat dan pembawaan yang khas, minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motives). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik;
2.1.5    Kebebasan, kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan intelektual. Kebebasan psikologis perlu dikembangkan pada anak agar intelektualnya berkembang dengan baik. Anak yang memiliki kebebasan untuk berpendapat, tanpa disertai perasaan takut atau cemas dapat merangsang berkembangnya kreativitas dan pola pikir. Mereka bebas memilih cara (metode) tertentu dalam memecahkan persoalan. Hal ini mempunyai sumbangan yang berarti dalam perkembangan intelektual.
Menurut Hamalik faktor-faktor yang mempengaruhi intelektual[12] yaitu:
2.1.1    Usia
Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya bertambah sambil ia berkembang menjadi lebih tua. Artinya, bertambah tua usia seseorang, bertambahlah kemampuannya untuk melakukan penyesuaian dirinya dengan lingkungannya. Secara teoretis pertumbuhan intelektual berhenti pada usia 20 atau 25 tahun. Bagi orang yang lebih inteligen pertumbuhan berlangsung lebih cepat dan terus berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya, orang yang kurang inteligen berkembang lebih lambat dan pertumbuhan ini berhenti pada usia yang lebih awal. Menurut Wechsler yang merumuskan bahwa kemajuan (penambahan) dalam kemampuan mental berlangsung hingga usia 30 dan sedikit menurun sampai usia 60 tahun.
2.1.2    Hereditas
Potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan melalui orang tua. Prinsip ini diterima, baik untuk pihak yang menekankan pentingnya lingkungan maupun oleh pihak yang memperingatkan tentang berapa banyaknya IQ dapat ditingkatkan dengan lingkungan yang baik. Penelitian-penelitian pada tahun 1920-an menunjukkan bahwa meskipun orang tua yang berada pada kelas profesional hanya merupakan bagian kecil dari penduduk (5-10%), keturunan mereka meliputi sekitar 1/3 dari populasi anak cerdas. Hampir setengah hari mereka yang dewasa ini menjadi orang-orang terkemuka mempunyai ayah yang istimewa. Sebaliknya, orang tua anak-anak yang belajarnya lambat mempunyai inteligensi di bawah rata-rata.
Pertimbangan lain berdasarkan regresi herediter (dari Galton) dalam mengemukakan bahwa anak-anak dari orang tua yang inteligen tidak akan sama inteligennya, dan juga anak-anak dari orang tua yang tidak pintar tidak akan sama tidak pintarnya, anak-anak cenderung menuju ke arah rata-rata. Anak-anak yang orang tuanya memiliki IQ 135 akan cenderung memiliki IQ yang lebih rendah, antara 100 dan 135. Anak yang orang tuanya memiliki IQ 64 cenderung memiliki IQ lebih tinggi, antara 64 dan 100. Hal lain ditemukan oleh Jensen atas dasar analisis terhadap data mengenai anak kembar identik. Jensen berkesimpulan bahwa 80% dari variasi dalam skor IQ disebabkan oleh faktor-faktor keturunan.


2.1.3    Lingkungan
Penelitian terhadap anak-anak yang dipelihara (dibesarkan) dalam lingkungan kumuh di kota besar rata-rata IQ-nya lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak seusia mereka dari masyarakat golongan menengah. Menurut Bernard berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang menunjang perkembangan intelektual yang optimal adalah sebagai berikut:
a)     Orang tua yang menaruh minat terhadap anak-anak, menyediakan waktu untuk bercengkerama dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, memiliki anak-anak yang mendapat skor tinggi dalam tes dan berprestasi baik di sekolah,
b)    Faktor-faktor seperti cinta dan kasih sayang, penerimaan terhadap anak, perlakuan yang konsisten yang menunjang kesehatan mental mempunyai pengaruh baik terhadap perkembangan intelektual,
c)     Peninjauan ke tempat-tempat seperti museum, kebun binatang, perpustakaan, konser, teater, dan taman adalah hal yang merangsang perkembangan intelektual.
2.1.4    Kelamin
Anak laki-laki (sebagai suatu kelompok) memperlihatkan variabilitas yang lebih besar dari pada anak perempuan dalam penyebatan inteligensi. Artinya lebih banyak anak laki-laki yang lemah dalam inteligensi di bandingkan dengan anak perempuan, namun banyak anak laki-laki yang menunjukkan superioritas dalam inteligensi di bandingkan anak perempuan.
Tidak berguna untuk berbicara tentang superioritas atau inferioritas mengenai kelamin yang satu atau yang lain. Sementara itu menurut Bloom bahwa sekurang-kurangnya selama antara usia 7-16 tahun tidak ada alasan untuk memisahkan penganalisisan data-data tes inteligensi mengenai anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Rata-rata laki-laki melebihi perempuan dalam hal berpikir  umum, berpikir aritmetika, kemampuan dalam meneliti kesamaan-kesamaan, dan aspek tertentu tentang informasi umum. Laki-laki cenderung melebihi perempuan dalam kecepatan dan koordinasi gerakan-gerakan badan yang besar, pengamatan ruang, dan bakat mekanis. Adapun anak-anak perempuan cenderung lebih unggul dalam ingatan, penguasaan bahasa, manual dexterity, perhitungan angka, dan kecepatan perseptual.
2.1.5    Ras
Berbagai penelitian sampai pada kesimpulan yang sama seperti halnya tentang jenis kelamin, yaitu bahwa perbedaan-perbedaan di antara ras dalam hal inteligensi kurang signifikan daripada perbedaan-perbedaan di dalam ras. Banyak penelitian di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa apabila sekelompok orang Negro,  Indian, atau orang Mexiko di tes inteligensinya, skor rata-ratanya hanya lebih rendah 5 sampai 10 angka IQ daripada rata-rata kelompok anak kulit putih.
Jadi dari pernyataan di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam seperti gen, gizi, kematangan, pembentukan, kebebasan psikologi, minat dan pembawaan yang khas stabilitas inteligensi dan IQ. Sedangkan faktor dari luar yaitu lingkungan. Jadi  tidak hanya faktor gen (pembawaan), tetapi juga faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi tingkat intelektual seseorang. Dari faktor lingkungan tersebut yang paling banyak berpengaruh yaitu yang mana yang lebih sering berinteraksi atau dengan siapa lebih banyak berinteraksi atau yang paling banyak memberi pengalaman.
Selanjutnya hasil penelitian Alfred Binet dan koleganya,[13] menemukan peran kecerdasan intelegensi dalam belajar adalah sebagai berikut:
2.1.1      Kecerdasan intelegensi berperan dalam keberhasilan seorang anak dalam proses belajar di sekolah. Anak dengan kemampuan intelegensi yang rendah akan mengalami kesulitan dalam belajar sebaliknya anak dengan kemampuan intelegensi yang tinggi akan mudah dalam mengikuti proses belajar. Sesuai dengan tujuan awal dari tes intelegensi yang dilakukan oleh Alfred Binet adalah untuk mengetahui siswa yang kemungkinan mengalami kegagalan dalam belajar sehingga mereka perlu mendapatkan perhatian khusus;
2.1.2      Kecerdasan intelegensi berperan sebagai direction. Menurut Binet direction melibatkan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Sehingga siswa dengan kemampuan inteligensi yang tinggi dapat dengan cepat mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Ketika guru memberikan suatu tugas tertentu ia dapat dengan cepat mengetahui tindakan apa yang harus ia lakukan.
2.1.3      Kecerdasan sebagai Menurut Binet adaptation mengacu pada upaya membangun strategi untuk melakukan sebuah tugas, lalu berusaha untuk tetap berada dalam strategi tersebut dan mengadaptasinya saat mengimplementasikannya.
2.1.4      Kecerdasan sebagai criticism. Menurut Binet criticism adalah kemampuan untuk mengkritisi pikiran dan tindakan sendiri. Sehingga siswa yang cerdas dapat berpikir kritis dan lebih aktif dalam proses belajar.
2.1.5      Kecerdasan intelegensi berperan dalam memberikan kesempatan belajar bagi anak yang berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Binet terhadap anak-anak miskin, betapapun pandainya mereka, namun mereka tidak pernah diberi kemudahan untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Binet berpikir bahwa lewat tes IQ anak-anak miskin mampu membuktikan mereka lebih cerdas daripada rata-rata anak kebanyakan. Karenanya, seharusnya, mereka bisa memperoleh pendidikan lanjutan, tanpa menghiraukan kedudukan sosial mereka.


2.2  Peran Faktor Non-Intelektual dalam Belajar
Beberapa penelusuran yang dilakukan, faktor non-intelektual dalam belajar itu terdiri dari sikap, motivasi, mengolah informasi, konsentrasi, percaya diri dan kebiasaan. Faktor non-intelektual ini tentu tidak terlepas dari kerja otak, sebelumnya akan dikemukakan beberapa cara mengajar yang disukai oleh otak menurut Alamsyah Said dan Andi Budimanjaya, yaitu:
a.     Kenali tipe-tipe kecepatan belajar peserta didik dengan baik, kecepatan belajar pada peserta didik ada yang fast learner, normaly learner, slow learner, dan very slow learner,
b.     Bangunkan rasa percaya diri peserta didik dan beri motivasi belajar yang berprestasi kepada peserta didik,
c.     Ajarkan peserta didik dengan sepenuh hati atau dengan hati,
d.     Ajarkan peserta didik sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya dengan gaya belajar peserta didik,
e.     Gunakan strategi pengajaran yang sesuai dengan gaya belajar peserta didik,
f.      Mengajarlah sesuai dengan modalitas terbaik peserta didik,
g.     Libatkan peserta didik secara aktif baik yang berhubungan dengan kinestetik maupun visual,
h.     Mengajarlah dengan kesabaran,
i.      Mainkan apersepsi alfa zone dan  scene setting dalam proses mengajar (humorislah dalam proses pembelajaran.[14]
Untuk memahami tentang faktor non-intelektual dalam belajar tersebut akan diuraikan berikut ini:
2.2.1      Sikap terhadap belajar
Diketahui bahwa sikap adalah kecenderungan orang untuk berbuat, sikap sesungguhnya berbeda dengan perbuatan karena perbuatan merupakan implementasi dari sikap. Dalam kegiatan belajar, sikap peserta didik dalam proses belajar terutama ketika memulai kegiatan belajar merupakan bagian penting untuk diperhatikan karena aktivitas belajar siswa selanjutnya banyak ditentukan oleh sikap siswa akan memulai suatu kegiatan belajar, bila mana ketika memulai kegiatan belajar siswa memiliki sikap menerima atau kesediaan emosional untuk belajar, maka ia akan cenderung untuk berusaha terlibat dalam kegiatan belajar dengan baik, demikian juga sebaliknya.
Banyak sikap yang dilakukan oleh peserta didik dalam belajar, di antaranya adalah mendengar, melihat, meraba, menulis, membaca, mengingat, dan lain sebagainya. Sikap tersebut sangat berperan dalam kegiatan belajar peserta didik, sikap yang tepat akan menciptakan pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif, dan begitu pula sebaliknya sikap-sikap tersebut akan menghambat peserta didik untuk melakukan kegiatan belajarnya.
2.2.2      Motivasi belajar
Motivasi dalam kegiatan belajar merupakan kekuatan yang dapat menjadi tenaga pendorong bagi siswa untuk mendayagunakan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan potensi yang ada di luar dirinya untuk mewujudkan tujuan belajar. Peserta didik yang memiliki tujuan belajar akan tampak melalui kesungguhan untuk terlibat di dalam proses belajar antara lain, tampak melalui keaktifan bertanya, keaktifan berpendapat, pelajaran, menyimpulkan, mencatat dan mengerjakan latihan dan evaluasi. Oleh karena itu rendahnya motivasi merupakan masalah dalam belajar, karena hal ini memberikan dampak bagi ketercapaian hasil belajar yang diharapkan.
Adapun peran motivasi dalam belajar menurut Ngalim Purwanto adalah
a.     Sebagai pendorong peserta didik untuk berbuat/bertindak yang memberikan energi (kekuatan) kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar,
b.     Untuk menentukan arah perbuatan ke arah yang mengonstruksi belajar, sehingga dapat mencegah hal-hal yang akan merusak proses belajar itu sendiri, karena semakin jelas tujuan motivasi belajar itu maka semakin jelas pula terbentang jalan yang harus ditempuh oleh peserta didik,
c.     Untuk menyeleksi perbuatan peserta didik, artinya menentukan perbuatan-perbuatan mana yang harus dilakukan, yang serasi, guna mencapai tujuan pembelajaran.[15]
2.2.3      Mengelola informasi belajar
Mengolah informasi belajar atau bahan belajar dapat diartikan sebagai proses berpikir seseorang untuk mengolah informasi-informasi yang diterima sehingga menjadi bermakna. Dalam kajian konstruktivisme mengolah bahan belajar atau mengolah informasi merupakan hal yang penting agar seseorang dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan informasi yang telah ia dapatkan.
2.2.4      Konsentrasi belajar
Konsentrasi belajar merupakan salah aspek psikologis yang sering kali tidak begitu mudah untuk diketahui oleh orang lain selain diri individu yang sedang belajar. Kesulitan berkonsentrasi merupakan indikator adanya masalah belajar yang dihadapi siswa, karena hal itu akan menjadi kendala di dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Peran konsentrasi dalam belajar sebagai memusatkan perhatian atau pikiran pada kegiatan belajar, baik pemusatan tenaga, kekuatan dan sebagainya dalam belajar.
2.2.5      Rasa percaya diri
Rasa percaya diri merupakan salah satu kondisi psikologis seseorang yang berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Rasa percaya diri pada umumnya muncul ketika seseorang akan melakukan atau terlibat di dalam suatu aktivitas tertentu, di mana pikirannya terarah untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkannya. Peran percaya diri peserta didik dalam belajar sebagai pengarah aktivitas fisik dan mental belajar peserta didik.


2.2.6      Kebiasaan belajar
Kebiasaan belajar adalah perilaku belajar seseorang yang telah tertanam dalam waktu yang relatif lama sehingga memberikan ciri dalam aktivitas belajar yang dilakukannya. Peran kebiasaan belajar untuk menciptakan belajar yang teratur, daya tahan belajar yang lama, dan membiasakan belajar pada diri peserta didik, dan lain sebagainya.[16]  




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari permasalahan yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa:
3.1.1    Peran faktor intelektual dalam belajar adalah sebagai berikut:
a.     Meningkatkan keberhasilan peserta didik dalam belajar,
b.     Sebagai direction, yaitu dapat dengan cepat mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya,
c.     Sebagai adaptation yaitu upaya membangun strategi untuk melakukan sebuah tugas, lalu berusaha untuk tetap berada dalam strategi tersebut dan mengadaptasinya saat mengimplementasikannya,
d.     Sebagai criticism, yaitu kemampuan untuk mengkritisi pikiran dan tindakan sendiri,
e.     Memberikan kesempatan belajar.
3.1.2    Peran faktor non-intelektual dalam belajar adalah sebagai berikut:
a.     Untuk menciptakan pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif,
b.     Sebagai pendorong peserta didik untuk berbuat/bertindak dalam menentukan arah perbuatan sehingga dapat menyeleksi perbuatan yang harus dilakukan,
c.     Sebagai pengarah arah berpikir sehingga dapat mengolah informasi pembelajaran,
d.     Sebagai pemusat perhatian atau pikiran pada kegiatan belajar, baik pemusatan tenaga maupun kekuatan,
e.     Sebagai pengarah aktivitas fisik dan mental belajar peserta didik,
f.      Untuk menciptakan belajar yang teratur, daya tahan belajar yang lama, dan membiasakan belajar pada diri peserta didik.



3.2  Saran-saran
Untuk memahami tentang pembahasan ini dirasakan makalah tersebut belumlah memadai, perlu adanya pengembangan pembahasan lebih lanjut dengan memperkaya referensi dan informasi secara lebih dalam dan lebih luas lagi bagi penulis selanjutnya.
Kepada pendidik untuk semua tingkatan harus memahami dan memperhatikan materi ini dengan baik untuk sebagai bekal dalam melaksanakan proses pembelajaran di lembaga pendidikan, sehingga tujuan dari pelaksanaan pembelajaran mencapai tujuan yang diharapkan.
Kepada teman-teman sekelas di Program Doktor Kependidikan Pascasarjana Universitas Jambi khususnya mahasiswa angkatan 2016 untuk sharing secara bersama dalam mengkonstruksi topik pembahasan ini, sehingga kita sama-sama mampu menguasai filosofi keilmuan  tentang peran faktor intelektual dan non-intelektual dalam belajar.
Dalam pembahasan makalah ini tanpa adanya batasan permasalahan yang dibahas, yang menjadi batasannya adalah sejauhmana pembahasan topik ini mampu didiskusikan oleh teman-teman mahasiswa Program Doktor Kependidikan Pascasarjana Universitas Jambi Angkatan 2016.



DAFTAR RUJUKAN
Said, Alamsyah dan Andi Budimanjaya. 2015. 95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences: Mengajar seusai Kerja Otak dan Gaya Belajar Siswa. Jakarta: Prenadamedia Group
Martinus, Surawan. 2011. Kamus Inggris Indonesia untuk SMP dan SMA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tim Developed. Bahasa Dictionary. Indonesia: GITS. Aplikasi didownload dari Windows 10 Store
Setiawan, Ebta. 2012-2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.5. Jakarta: Pusat Bahasa Kemendiknas RI
Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Purwanto, Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali
Hamalik, Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta
http://mooza-alkaz.blogspot.co.id/


[1] Alamsyah Said dan Andi Budimanjaya. 95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences: Mengajar seusai Kerja Otak dan Gaya Belajar Siswa. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hal. 16
[2] Alamsyah Said dan Andi Budimanjaya. 95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences: Mengajar seusai Kerja Otak dan Gaya Belajar Siswa. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hal. 3
[3] Surawan Martinus. Kamus Inggris Indonesia untuk SMP dan SMA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal. 375
[4] Tim Developed. Bahasa Dictionary. Indonesia: GITS. Aplikasi didownload dari Windows 10 Store
[5] Ebta Setiawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.5. Jakarta: Pusat Bahasa Kemendiknas RI, 2010-2013
[6] Ebta Setiawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.5. Jakarta: Pusat Bahasa Kemendiknas RI, 2010-2013
[7] W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hal. 384
[8] Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, hal. 52
[9] Sarlito Wirawan Sarwono. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali, 2009, hal. 154
[10] Alamsyah Said dan Andi Budimanjaya. 95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences: Mengajar seusai Kerja Otak dan Gaya Belajar Siswa. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015
[11] Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, hal. 55-56
[12] Oemar Hamalik. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 2000, hal. 89-91
[13] Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta, 2005, hal. 98
[14] Alamsyah Said dan Andi Budimanjaya. 95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences: Mengajar seusai Kerja Otak dan Gaya Belajar Siswa. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hal. 16-17
[15] Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, hal. 70-71
[16] http://mooza-alkaz.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar